Minggu, 29 November 2009

klo mw tw pra-stage di Panti Werda Hana Ciputat ni...

Theofilia Bremwell Verdina

Teologi 2007, Universitas Kristen Duta Wacana

Laporan Kegiatan Pra-Stage (Juni-Juli 2009) di Panti Werda Kristen Hana Ciputat

 

Ini adalah kegiatan pra-stage pertama saya. Pada pra-stage petama ini, saya memilih untuk menjalani pra-stage di lembaga. Badan Bina Pengerja (BBP) kemudian menempatkan saya di Panti Werda Kristen Hana Ciputat.

 

ü  Gambaran Deskriptif Mengenai PWK Hana Ciputat

Panti Werda Kristen (PWK) Hana sudah berdiri selama 33 tahun. Panti werda ini merupakan perumahan milik GKI (Gereja Kristen Indonesia) yang khusus didirikan untuk melayani para lanjut usia dalam terang kasih Kristus. Gagasan pendiriannya sendiri berawal dari ide pasangan suami istri Tan Ngo Liong pada pernikahan perak mereka tahun 1958. Gagasan tersebut kemudian disambut oleh GKI Samanhudi dengan membentuk panitia pencari dana Bethesda. Melalui akte notaries, pada tanggal 19 Juni 1976, diresmikanlah yayasan PWK Hana. Panti ini memiliki visi “Menjadi mitra Kristus dalam mewujudkan damai sejahtera di lingkungan Panti Werda Hana”. Selain itu panti ini juga memiliki misi “Memberikan pelayanan terbaik berlandaskan cinta kasih Kristus serta mengupayakan pertumbuhan Panti Werda Kristen Hana yang berkesinambungan”.

Lingkungan di dalam PWK Hana sangat asri. Ada banyak tumbuhan hijau yang tertata dengan baik serta terawat sehingga mampu mengurangi kepenatan atau rasa bosan di panti. Kebersihan lingkungan juga sungguh terjaga.  Saat ini PWK Hana menampung 83 orang lansia yang terbagi atas 22 oma di Asrama Baru (AB), 30 oma-opa di Asrama Lama (AL), 15 oma di ruang sakit,  ada 2 opa yang memiliki kamar tersendiri yaitu di dekat ruang sakit, lalu 14 oma-opa di Graha. Selain itu, PWK Hana juga mempekerjakan 33 karyawan yang tugasnya terbagi atas dapur, laundry, kebersihan kamar (termasuk kamar mandi) oma-opa, tukang kebun, perawat, supir, dan security, dan 3 orang pengurus harian.

Selain menyediakan tempat tinggal yang nyaman serta makanan yang cukup bagi oma-opa, panti ini juga memiliki beberapa sarana pelayanan dan fasilitas, yaitu :

·         Tersedia sarana ibadah dan hiburan

·         Sarana musik, angklung

·         Sarana kesehatan poliklinik dan ruang rawat khusus bagi yang sakit. Selain itu ada pelayanan kesehatan keliling (ke AB, AL, ruang sakit, Graha) berupa tensi setiap pagi dan sore juga konsultasi kesehatan.

·         Kegiatan di waktu luang seperti : senam, persekutuan doa (doa pagi dan doa malam), latihan paduan suara, sekolah cinta kasih

·         Tersedia sebuah lahan kecil bagi oma-opa yang senang bercocok tanam

 

ü  Kegiatan yang Dilakukan

Kegiatan yang saya lakukan adalah mengobrol dengan oma-opa (walaupun bukan obrolan dua arah biasa karena saya lebih banyak mendengarkan cerita mereka), menjenguk yang sakit serta mendoakannya, memimpin doa malam, memimpin doa pagi, memimpin doa makan setiap hari, mengiringi baik ibadah minggu maupun ibadah pagi, mengiringi vocal group oma-oma yang dikoordinatori oleh oma Retno (saat mereka hendak mengisi di suatu acara), mengikuti senam pagi, mengikuti setiap acara kebersamaan atau doa pagi yang diadakan oleh gereja-gereja yang melayani ke PWK Hana. Saya dengan Martinus pun bersama membuat acara kebersamaan yang di dalamnya tercakup tidak hanya permainan-permainan tapi juga pembagian kenang-kenangan bagi oma opa yang berulang tahun bulan itu.

Ada pula kegiatan yang saya lakukan di luar kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kerohanian, yaitu membantu membagikan makanan saat jam makan, membantu mencuci piring setiap habis makan, selain itu hampir setiap pagi saya juga membantu menjemur pakaian oma-oma yang dicuci oleh karyawan, membantu mendorong kursi roda oma-oma dari gereja ke ruang sakit jika acara di gereja telah selesai, membantu oma-oma jika memang mereka memerlukan pertolongan saya (misal, menarikkan gorden bagi oma Rahel jika ia ingin istirahat siang, membelikan titipan makanan yang mereka minta untuk dibeli, mengantar ke warung depan, menemani bermain organ di gereja, bermain congklak, dan hal-hal lainnya). Saya juga rutin mengunjungi ruang sakit. Di ruang sakit ini, yang saya lakukan adalah menghibur mereka. Ada satu oma yang setiap hari keluhannya sama, dia mengeluh kakinya sakit dan mengeluh akan doa untuk kesembuhannya yang tidak dikabulkan Tuhan. Ada pula yang merasa kesepian sehingga membutuhkan teman untuk mengobrol, jadi saya temani mengobrol, ada pula beberapa oma yang sudah tidak sanggup berkomunikasi dengan baik. Apa yang diomongkan sudah tidak “nyambung” lagi. Untuk oma-oma yang seperti ini biasanya saya “ngemong” seperti pada anak kecil.

 

ü  Hal-hal yang Dipelajari Pada Masa Pra-Stage

Ada banyak hal yang saya pelajari pada masa pra-stage ini. Walaupun selama

ini saya aktif melakukan pelayanan di jemaat, namun ada banyak hal baru yang saya temui saat pelayanan di PWK Hana ini yang tidak saya temui saat saya melayani di jemaat. Pastinya saya belajar untuk lebih banyak mendengar sangat sedikit bicara. Sekalinya bicara pun harus benar-benar kata-kata yang mengena, yang menguatkan, yang netral (jika yang sedang dibicarakan itu mengenai perseteruan). Dalam menghadapi oma-opa, saya belajar sabar. Kadang saya harus mendengar kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan namun mereka ucapkan saat mereka sedang kesal. Selain itu meghadapi cara mereka menolak makanan yang mereka tidak mau mereka makan juga dibutuhkan kesabaran, karena ada oma yang menolak dengan kasar makanan yang dibagikan. Sabar untuk mendengarkan mereka bercerita pun sangat diperlukan. Pernah waktu itu saya mendengarkan seorang opa bercerita hingga 45 menit! Selain belajar lebih banyak mendengar dan sabar, saya juga belajar “ngemong”, belajar menghadapi setiap kasus pertengkaran yang terjadi di oma-opa dengan kepala dingin, belajar menahan diri untuk tidak terlalu cepat memberikan pernyataan yang justru akan lebih menyulut pertengkaran, belajar bagaimana menghadapi oma-opa yang sedang mengalami krisis iman (misal, ketika mereka mempertanyakan “kenapa Tuhan tidak mengabulkan doa saya?”, “mengapa saya terus menerus sakit?”, atau dengan sikap protes kepada Tuhan tidak mau ke gereja dan juga tidak mau mengikuti segala kegiatan doa).

                 Selain belajar hal-hal yang berhubungan dengan oma-opa seperti di atas, saya pun belajar menjadi pendengar yang baik bagi karyawan. Terkadang mereka curhat pada saya tentang teman sekerja yang “menyebalkan”, tentang pengurus, tentang keluarganya. Dalam hal ini pun saya perlu berhati-hati dalam menanggapi curhatan mereka apalagi yang berhubungan dengan teman sekerja atau pengurus. Disadari atau tidak sebenarnya baik penghuni panti (oma-opa), karyawan, maupun pengurus memiliki “gank” sendiri-sendiri. Saya belajar untuk menjadi pihak yang netral dalam bergaul di antara “gank-gank” tersebut. Biasanya saya menanggapi curhatan mereka, terutama untuk teman sekerja yang menyebalkan atau pengurus, dengan tertawa atau tersenyum. Ada kalanya saya menanggapi, “Oh, gitu mba/mas…”, “masa sih?”. Hanya tanggapan-tanggapan ringan.

 

ü  Usul untuk Badan Pelayanan

o   Saya mengusulkan pembimbing spiritual bagi oma-opa yang rutin berkeliling mendatangi mereka, misal seminggu tiga kali. Lebih baik lagi jika pembimbing-pembimbing tersebut tidak berganti-ganti orang. Jadi mereka memang pembimbing-pembimbing tetap. Pembimbing pun harus menciptakan kedekatan yang baik dengan oma-opa, sehingga mereka mau bercerita banyak bahkan tentang krisis iman yang mereka rasakan.

o   Sebaiknya diadakan perayaan atau acara kebersamaan bagi ultah oma-opa satu bulan satu kali. Diberikan kenang-kenangan bagi mereka yang berulang tahun di bulan itu. Menurut pengalaman saya mengadakan acara kebersamaan itu, sepertinya oma-opa cukup senang apalagi saat menerima kenang-kenangan tersebut. Mereka merasa masih diperhatikan peringatan pertambahan usia mereka itu.

o   Pemimpin doa malam sangat dirindukan oleh opa-opa. Walau jumlah pengikut doa malam lebih sedikit di opa-opa disbanding dengan oma-oma, namun mereka sungguh menginginkan orang yang dapat membimbing mereka secara rutin dalam doa malam.

 

ü  Refleksi

Saat pertama mengetahui bahwa saya ditempatkan di panti werda, saya sempat takut tapi ada juga semangat yang saya rasakan karena keingintahuan saya akan pelayanan di panti werda. Saya merasakan perasaan-perasaan itu karena pelayanan di panti werda Hana ini merupakan pelayanan pertama saya ke oma opa. Sebelumnya saya belum pernah pelayanan ke oma opa di panti werda. Selama ini saya melayani anak dan remaja. Pengalaman menarik terakhir, saya melayani anak jalanan di Yogyakarta bekerja sama dengan yayasan anak jalanan yang bernama Shine. Jadi dapat dibayangkan perasaan yang berkecamuk dalam diri saya saat itu.

                 Tanggal 3 Juni 2009, saya tiba di panti werda Hana. Kesan pertama yang saya dapat adalah tempat yang bersih dan teduh. Menurut saya saat itu tentu oma opa yang tinggal di panti ini merasa nyaman. Saya berkata dalam hati “semoga saya juga betah di sini dan dapat melakukan pelayanan dengan penuh sukacita”. Dengan hati yang mantap saya pun sudah memulai pelayanan di hari itu juga.

                 Pertama kali saya mengunjungi oma-oma di asrama baru. Oma-omanya ramah. Saya tidak mengalami kesulitan berkenalan dengan mereka. Mereka menyambut saya dengan baik. Keadaan tampak baik-baik saja. Waktu itu saya pun sudah mengobrol banyak dengan oma Dewi. Dia menceritakan keluarganya dan bagaimana dia bisa sampai di werda ini. Hari itu saya hanya ke asrama baru. Berusaha mengingat-ingat nama oma-oma di asrama baru. Belum ada hal-hal atau cerita-cerita lebih yang saya dapatkan.

                 Ternyata hal itu tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, bahkan pagi-pagi, saya sudah mendapatkan cerita-cerita yang tidak menyenangkan. Pagi itu saya mendapat cerita dari oma Eni dan oma Dewi tentang oma yang tidak disukai, oma Titin. Segala keburukan pun diceritakan. Awalnya memang saya merasa risih dengan cerita-cerita seperti itu. Namun saya berusaha menjadi pendengar yang baik dan bersikap netral. Saya tidak memberikan tanggapan yang berarti terhadap cerita-cerita seperti itu. Waktu untuk makan pagi pun tiba. Saya menjadi “rebutan”. Sempat bingung juga menghadapinya karena saya tidak mau dianggap membela salah satu kubu karena duduk di dekat kubu tersebut. Selesai sarapan, saya mencari mba Rida untuk mendapatkan solusi dari masalah “rebutan” tadi. Beliau memberikan saran kepada saya agar saya tetap punya pendirian sendiri. Dalam hal “rebutan” ini, tidak perlu merasa tidak enak pada oma-oma tersebut. Tidak apa-apa jika saya menentukan tempat duduk saya sendiri. Tidak perlu menuruti mereka. Saya pun menyimpan baik-baik masukan ini dan mulai menerapkannya di jam-jam makan selanjutnya.

                 Keesokan harinya, saya berkenalan dengan oma-oma di asrama lama dan juga oma-oma yang ada di ruang sakit. Saya agak kesulitan memulai suatu komunikasi yang lancar dengan oma-oma asrama lama. Mereka tidak seterbuka oma-oma di asrama baru. Akhirnya komunikasi hanya sekedar perkenalan biasa. Selebihnya saya hanya diam mengikuti pembicaraan mereka saja. Lalu saya juga berkenalan dengan beberapa opa. Beberapa hari kemudian saya berkenalan juga dengan oma-opa di graha.

                 Hari-hari selanjutnya saya isi dengan berkeliling dan mendengarkan cerita oma-opa. Tidak semua oma memang bercerita panjang lebar tentang kehidupan mereka. Terkadang kami mengobrol hanya membahas masalah-masalah ujian sekolah, ibu hamil, pemilu presiden, hal-hal umum semacam itu. Setelah satu bulan berlalu, saya mencoba memetakan masalah apa yang terjadi di oma-oma. Ada tiga penyebab yang saya temukan mampu mempengaruhi komunikasi yang buruk antar oma-opa sehingga menyebabkan pertengkaran:

Y  Latar belakang budaya atau kebiasaan dalam keluarga di mana oma-opa ini dibesarkan. Budaya yang sudah mengakar ini tentu sulit dirubah.

Y  Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi pemilihan kata-kata untuk diucapkannya (baik atau buruk).

Y  Mengalami krisis identitas atau memang mengalami masalah kejiwaan.

Namun seiring berjalannya waktu, saya menemukan ada hal-hal lain juga. Hal-hal tersebut adalah rasa kesepian (lama tidak dikunjungi sanak saudara), keinginan awal masuk panti bukan berasal dari dirinya sendiri (jadi masuk panti karena terpaksa). Ada pula hal-hal lain yang mempengaruhi pertumbuhan imannya, seperti kelemahan fisik (merasa Tuhan meninggalkannya karena doanya untuk sembuh tidak kunjung terkabul), baru masuk Kristen di usia senja. Ada pula beberapa oma yang dibaptis di gereja kharismatik. Gereja kharismatik tidak memiliki pengajaran khusus (katekisasi) tentang dasar-dasar iman Kristen saat mereka membaptis orang yang masuk Kristen sehingga pengenalan dan penghayatan akan Kristus sangat kurang bahkan menyebabkan mereka malas mengikuti persekutuan. Oma-oma itu pun jadi tidak mampu memahami arti mengasihi dan mengampuni sesama. Mereka merasa sudah cukup dengan mengetahui jadi orang Kristen tidak boleh begini atau tidak boleh begitu, tidak perlu lagi ikut persekutuan-persekutuan (seperti doa malam).

                 Hal-hal tersebut membuat saya tersadar bahwa pengenalan pada Tuhan terus menerus sangat penting. Bila menapak tilas 20 tahun kehidupan saya, bisa saja saya berkata bahwa Tuhan itu tidak adil atau Tuhan tidak mendengarkan doa saya. Namun saya bersyukur karena saya dimampukan untuk terus berefleksi hingga saat ini saya mampu untuk berkata bahwa rencana Tuhan itu indah. Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Tuhan selalu mendengarkan doa-doa saya.

                 Di tempat ini, saya jadi sering berpikir tentang masa tua saya. Memang masih jauh, tetapi saya merasa perlu memikirkannya dari sekarang. Jika tidak, tentu saya tidak akan pernah bisa menerima ketuaan saya suatu saat nanti. Melakukan pelayanan untuk oma-opa di panti werda ini membuat saya belajar bagaimana saya harus menghargai umur tua saya, kesehatan yang memang akan menurun, terus berusaha menjadi berkat bagi orang lain (keluarga dan teman) melalui sikap hidup saya, tetap dapat mengucap syukur di masa tua saya, tidak memikirkan kepentingan diri sendiri lagi tapi semakin dekat dengan Tuhan.

                 Selain refleksi pribadi di atas, ada hal penting lain yang menjadi bekal saya jika dikaitkan dengan panggilan sebagai pelayan jemaat penuh waktu, yaitu berusaha menjadi pihak yang netral di antara “gank” yang ada di lingkungan pelayanan saya. Tetap bergaul dengan semua kelompok yang ada. Pada kenyataannya memang sulit, tapi saya akan terus berusaha. Bekal yang lain adalah menjadi pendengar yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik berarti saya mendahulukan kepentingan orang lain dari pada ego saya sendiri. Menurut saya, sebenarnya bekal ini pun berlaku di semua lingkungan di mana saya berada dan bergaul.

 

paper Sharing Christian Faith

Theofilia Bremwell Verdina

01 07 2118

Paper Akhir Pendidikan Kristiani

Pengampu : Pdt. Tabita Kartika Christiani, Ph. D.

Rancangan Pertemuan Pembinaan dengan Pendekatan SCP (Shared Christian Praxis)

 Focusing Activity

Tema   :  Saat Hidup Dirasa Hanyalah Sebuah Rutinitas

Peserta :  Pemuda

Gerakan 1

-          Seorang pemudi pernah merasakan hidupnya “hanya menjadi sebuah rutinitas” saat dia SMA. Sebenarnya sejak SMA, dia sudah sangat ingin belajar tentang teologi. Ia merasa tertekan karena harus mempelajari pelajaran yang lain juga. Ia menganggap toh pelajaran yang lain tidak diperlukan saat ia berkuliah di fakultas teologi. Ia sangat memfokuskan diri pada pelajaran agama kala itu karena menurut dia hanya pelajaran itulah yang berkaitan dengan teologi. Hingga akhirnya mencapai puncaknya, ia memutuskan mempelajari pelajaran yang lain itu hanya untuk mendapatkan ijazah kelulusan. Tentu saja keputusan ini membuatnya menjalani hidupnya seperti untuk formalitas atau hanya sebagai sebuah rutinitas yang harus dijalani saja.

-          Seorang pemuda merasa bosan dengan hidupnya. Dia bosan bertemu teman-teman yang sama, bosan dengan semua tugas-tugas yang ada, bosan dengan kuliahnya.

-          Seorang pemudi merasa bosan dengan rutinitasnya. Dia bosan dengan tugas-tugas kuliahnya, bosan dengan rutinitasnya sepulang kuliah yang hanya bisa di kamar saja (ingin jalan-jalan; uang saku tidak terlalu banyak karena orang tuanya bukanlah orang yang mampu sehingga tidak bisa memberikan uang saku yang lebih, ingin bermain dengan teman lain; sepertinya teman-teman punya kesibukan masing-masing sehingga tidak bisa diajak bermain).

-          Seorang pemudi sampai mencari-cari apa sebenarnya makna hidupnya. Ia merasa hidupnya biasa saja. Tidak ada suatu kejadian yang mengejutkan dalam hidupnya. Semuanya dirasa berjalan sungguh biasa-biasa saja. Standar…

-          Seorang pemuda merasa hidupnya hanyalah untuk mengejar nilai-nilai saja. Ia mendapat tekanan dari orang tuanya agar selalu mendapat IP yang tinggi. Itu dirasa sungguh berat baginya. Di setiap TAS, dia dihantui pikiran harus mengejar nilai tinggi. Di satu sisi, dia ingin membanggakan orang tuanya, namun di sisi lain dia merasa hidupnya terlalu dipaksakan mengejar nilai tinggi.

Jika tidak ada yang mau bercerita :

-          Memberikan dorongan dengan mengatakan bahwa setiap manusia pasti pernah merasakan bosan. Kebosanan itu terkadang membuat kita merasa hidup hanya sebuah rutinitas, yaa..dijalanin aja deh….

-          Menampilkan film pendek (yang berdurasi + 5 menit) yang menampilkan kesaksian orang-orang yang sedang dalam masa-masa krisis semangat hidup karena merasa hidupnya biasa-biasa saja. Tidak ada gregetnya.

Gerakan 2

Core issue : merasa bosan (terjebak) dengan rutinitasnya yang dirasa hanya itu-itu saja, padahal mengharapkan sesuatu yang lain.

-          Karena menganggap hanya pendidikan agama saja yang berkaitan dengan teologi (yang sesuai dengan bidang minatnya), maka pemudi ini menganggap pelajaran yang lain tidak penting sehingga motivasinya belajar pelajaran yang lain hanyalah untuk mendapatkan ijazah/lulus SMA. Padahal sebenarnya dalam teologi, ilmu-ilmu atau pelajaran-pelajaran sekolah yang lain selain pendidikan agama juga dipelajari (walaupun ada yang secara tidak langsung sebenarnya menunjuk pada pelajaran tersebut), seperti kewarganegaraan, sejarah, ekonomi, geografi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahkan matematika.

-          Manusia pasti akan merasa bosan bila ditempatkan dalam satu ruangan yang sama terus-menerus. Mungkin hal ini juga yang dirasakan si pemuda tadi. Ia berada pada saat atau waktu di mana dia merasakan kebosanan itu. Ia harus tinggal satu atap dengan teman-teman yang pastinya hanya itu-itu saja, sehingga otomatis bertemu setiap hari bahkan ada bersama-sama selama 24 jam, makan bersama, kuliah dengan mata kuliah yang hampir semua sama sehingga di kelas pun bertemu dengan mereka-mereka juga, tugas-tugas kuliah yang dikerjakan pun dirasa banyak olehnya. Itulah sebabnya mengapa ia menjadi bosan dengan kuliahnya juga.

-          Sepertinya kasus yang ketiga ini hampir sama dengan kasus yang kedua. Bedanya adalah si pemudi ini tidak merasa bosan dengan teman-temannya. Namun secara umum dapat dikatakan penyebab kebosanan itu sama. Si pemudi ini memang sedang dalam titik bosan pada kesehariannya. Bukan karena tekanan dari pihak tertentu atau tekanan dari keadaan  tertentu. Dia hanya memang sedang ada dalam titik bosan akan kesehariannya saja.

-          Ia merasa tidak ada sesuatu kejadian yang spektakuler dalam hidupnya. Ia merasa hidupnya biasa saja. Berjalan apa adanya. Tidak ada kesedihan yang mendalam maupun kegembiraan yang amat sangat.

-          Ia merasa tertekan oleh perasaan dan orang tuanya. Di satu sisi ia ingin membuat orang tuanya bangga, namun di sisi lain ia merasa hidupnya atau ia belajar selama ini hanya utuk mengejar sebuah nilai yang tinggi untuk menghasilkan IP yang tinggi juga.

Gerakan 3

Matius 25 : 14-30

            Kitab ini ditulis oleh Matius setelah tahun 70 SM. Pada saat itu Raja Titus dari kerajaan Romawi berkuasa. Ia menghancurkan Yerusalem sehingga orang Yahudi Kristen melarikan diri ke Pela. Dari Pela, mereka melarikan diri lagi ke Antiokhia. Di kota inilah injil Matius ditulis.

            Penduduk Antiokhia terdiri dari orang Yunani Kristen yang tidak mengenal Taurat, orang Yahudi Kristen yang mengenal Taurat serta Yesus, lalu orang Yahudi Yahudi yang hanya mengenal Taurat. Injil Matius ini ditulis untuk menguatkan orang Yahudi Kristen dalam menghadapi perseteruan dengan Yahudi Yahudi (terutama orang-orang Farisi dan ahli Taurat) serta untuk melawan paham Yahudi.

            Kita akan membahas salah satu perikop dari injil Matius, yaitu Matius 25 : 14-30. Perikop ini menceritakan tentang seseorang yang akan bepergian keluar negeri. Sebelum ia pergi, ia memanggil ketiga hambanya dan memberi mereka masing-masing sejumlah talenta menurut kesanggupannya. Hamba pertama diberi 5 talenta, hamba yang kedua diberi 2 talenta, sedangkan hamba yang ketiga diberi 1 talenta. Setelah itu pergilah ia.

            Setelah tuannya pergi, hamba yang pertama segera pergi untuk menjalankan uangnya itu dan mendapat laba 5 talenta. Hamba yang kedua juga berbuat demikian dan berlaba 2 talenta. Namun hamba yang ketiga pergi menggali lubang dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya.

            Lama setelah itu, tuannya kembali. Ia kemudian mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Hamba yang pertama kemudian datang dan membawa serta laba 5 talenta yang didapatnya. Tuannya sangat senang dan memuji hamba yang pertama itu karena kebaikan dan kesetiaannya, sehingga kepada hamba yang pertama itu akan diberikan tanggung jawab yang lebih besar serta berhak turut serta dalam kebahagiaan tuannya. Hamba yang kedua pun datang dengan membawa serta laba 2 talenta yang didapatnya. Tuannya sangat senang dan memuji hamba yang kedua itu. Hamba yang kedua itupun akan diberikan tanggung jawab yang lebih besar dan juga berhak turut serta dalam kebahagiaan tuannya. Lalu datanglah hamba yang ketiga sambil berkata kepada tuannya, “ Tuan aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan tidak memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan di dalam tanah : ini, terimalah kepunyaan tuan! Tentu saja perkataan dari hamba yang ketiga tersebut membuat tuannya sangat murka. Tuannya pun tak kalah sengit menimpali perkataan hambanya dengan menyebut hambanya yang ketiga itu hamba yang jahat dan malas. Tuan itupun menyuruh mengambil 1 talenta yang diberikan pada hamba yang ketiga itu dan kemudian diserahkan pada hamba yang memiliki laba 5 talenta. Hamba yang ketiga itupun kemudian dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah terdapat ratap dan kertak gigi.

 Gerakan 4

Seringkali dalam kita menjalani hidup sebagai manusia yang telah diciptakan Tuhan, kita merasa bosan. Dari hal yang kecil saja, misalnya kita tidak mungkin menggunakan baju yang sama selama satu minggu. Bukan hanya kita yang bosan namun orang lain pun yang melihat kita akan bosan (terlepas dari baju itu sudah kotor atau tidak). Bosan pasti selalu menjadi bagian dalam kehidupan manusia.

Bosan itu akan menjadi permasalahan yang sangat besar saat ia menjadikan kita krisis semangat hidup. Membuat kita merasa hidup tidak bisa dihayati lagi. Menjalani hidup seperti hanya sebuah rutinitas saja. Hanya untuk formalitas, manusia diciptakan Tuhan hidup di dunia ya dijalani saja karena masih diberi kesempatan hidup.

            Seperti kisah dalam perikop yang kita bahas tadi, hamba yang ketiga ini merasa tahu bahwa tuannya itu menuai di tempat di mana tuannya tidak menabur dan tidak memungut dari tempat di mana tuannya tidak menanam. Artinya, tuannya ini bisa dibilang (menurut hamba yang ketiga) “hanya mau enaknya saja”. Hamba yang ketiga ini berpikir “untuk apa saya mengembangkan satu talenta ini jika nantinya hasilnya harus saya serahkan kepada tuan saya itu? Untuk formalitas, saya akan tetap menyerahkan saja kepadanya 1 talenta itu daripada nanti saya malah berhutang 1 talenta padanya.”

            Hal ini sama saja jika kita berpikir “untuk apa aku hidup jika hidup yang aku jalani hanya begini-begini saja?” atau “untuk apa aku hidup jika ternyata aku hidup di bawah tekanan?”, “untuk apa sebenarnya aku hidup jika hidupku begini toh aku akan kembali kepadaNya..”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini jika kita biarkan akan membuat kita semakin tidak dapat berpikir dengan jernih. Kita lupa bahwa Tuhan menciptakan kita bukan tanpa “bekal”. Kehidupan kita tidak mungkin biasa-biasa saja jika kita mau memikirkan hendak kita apakan bekal kita itu. Bekal yang di maksud di sini sama saja dengan talenta.

            Hamba yang ketiga tadi membiarkan dirinya dibutakan dengan pikiran buruknya. Padahal 1 talenta sebenarnya adalah jumlah yang banyak. 1 talenta sama dengan 6000 dinar, 1 dinar merupakan upah pekerja harian dalam satu hari. Kalau pun mau dihitung upah pekerja harian satu bulan, uang yang didapat hamba yang ketiga itu dari tuannya tetap lebih banyak, yaitu 200 kali lebih banyak. Sangat disayangkan dengan uang sebanyak itu dia hanya menguburnya di dalam tanah. Betapa ia sangat tidak mengucap syukur.

            Perikop ini ingin mengingatkan lagi kepada kita bahwa Tuhan menciptakan kita dengan talenta kita masing-masing. Hendaknya talenta itu kita kembangkan, bukan kita kubur. Talenta itu berguna saat kita menjalani hidup. Bila kita memaksimalkan potensi yang ada dalam diri kita, tidak mungkin hidup kita akan menjadi biasa-biasa saja atau kita menjadi merasa tertekan. Tuhan sudah menyiapkan “bekal” untuk kita menurut kemampuan kita masing-masing. Tuhan sudah menyiapkan daftar rencanaNya yang baik bagi hidup kita. Percaya Tuhan tidak pernah menciptakan kita untuk menjalani hidup yang hanya lah untuk sebuah rutinitas saja.

ü  Gerakan 5

-          Aksi personal

Menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang menghambat pengembangan diri, membangkitkan kepercayaan dalam diri bahwa Tuhan sudah menyiapkan “bekal” bagi manusia ciptaanNya untuk menjalani hidup di dunia, percaya rencana Tuhan pasti untuk kebaikan kita, tidak pernah menganggap remeh segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita, mengembangkan talenta yang dimiliki.

-          Aksi interpersonal

Menguatkan dan mengingatkan teman yang sedang mengalami hal yang sama (merasa hidupnya hanya sebuah rutinitas saja), membantu temannya mengembangkan talenta yang dimiliki (misalnya, mengajari bermain piano), membantu teman lebih memahami pelajaran/mata kuliah yang belum terlalu dipahaminya.

-          Aksi sosial

o   Di yayasan anak jalanan, Shine, ada beberapa anak jalanan yang ternyata memiliki otak yang pandai, sehingga mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung semakin mengasah kemampuan otak mereka. Akhirnya mereka dapat disekolahkan di sekolah biasa seperti anak-anak lain yang bukan anak jalanan.

TUGAS PAPER AKHIR

HERMENEUTIK PERJANJIAN LAMA 1

 

Theofilia Bremwell Verdina

01072118

 

 

 

 

 

Abstrak

 

Kita tentunya tahu kisah tentang Ester. Kita mengenal kisah heroik Ester ini mulai saat kita memasuki sekolah minggu. Kakak-kakak guru menceritakan kepada kita bagaimana pergumulan Ester untuk menolong bangsanya, bangsa Yahudi. Hal inilah yang tertanam dalam pemikiran saya hingga akhirnya suatu saat pemikiran itu mengalami perubahan. Bukan berubah dalam artian saya tidak menghargai tokoh Ester ini. Berubah di sini berarti saya mampu melihat makna lain pada kisah Ester ini. Tidak hanya Ester saja yang saya “agung-agungkan” seperti dulu. Tokoh-tokoh yang lain pun berperan penting. Seberapa pentingkah peran tokoh-tokoh lain tersebut?

Paper saya berikut ini membahas peran penting Raja Ahasyweros, Haman, serta Mordekhai terutama bagi tujuan si penulis yang menuliskan kisah Ester ini.

 

 

1.     Pendahuluan

Sebenarnya saya sempat sangat bingung akan menafsir kitab/perikop mana dari sekian banyak kitab/perikop yang ada dalam Perjanjian Lama. Namun akhirnya saya memilih kitab Ester karena kitab ini adalah salah satu kitab yang digemari banyak orang (terutama perempuan) oleh sebab kisah heroik Ester dan justru karena banyak digemari itulah yang membuat saya tertarik dan akhirnya menjatuhkan pilihan saya untuk menafsir kitab ini. Saya menjadi penasaran menggali tentang Ester, apakah memang hanya Ester saja yang dapat dipandang baik? Apakah hanya Ester yang dapat dijadikan perenungan kita dalam menjalani hidup?

Kitab Ester adalah sebuah kitab yang ditulis pengarangnya dalam bentuk cerita. Ia menulis kitab ini dengan tujuan untuk menjelaskan hari raya Purim kepada bangsa Yahudi,  juga untuk mengilhami mereka pada kebanggaan akan leluhur mereka yang berada di negeri asing dan bagaimana leluhur mereka itu menghadapi musuh-musuh yang kejam.[1] Oleh karena kitab ini berbentuk cerita, maka saya menggunakan metode naratif.

Dalam setiap metode tafsir, pasti ada langkah-langkah untuk menafsir. Langkah pertama dalam menggunakan metode tafsir naratif adalah saya membaca keseluruhan kitab Ester, yaitu dari pasal 1 hingga pasalnya yang ke-10. Saya mencoba memahami dulu bagaimana sebenarnya kisah Ester ini, siapa saja tokoh-tokoh selain Ester, bagaimana karakter tokoh-tokoh itu, bagaimana alur ceritanya, apa saja sudut pandang yang ada di dalamnya. Setelah cukup memahami kitab Ester ini, saya memilih salah satu perikop untuk ditafsir. Dari perikop itulah saya mendapatkan tema (cat: untuk tugas menafsir ini, saya memilih perikop Ester 6 : 1-14).

2.     Isi

Y  Karakter tokoh* :

-          Raja                            :  jika menghadapi kasus, lebih banyak meminta pendapat orang lain, sehingga terkesan bukan raja yang tegas/tidak mandiri. 

-          Haman                                    :  jahat, sombong, licik, gila hormat.

-          Mordekhai                  :  setia pada Tuhan dan bangsanya, pemberani, rendah hati (bnd. Ester 6 : 11-12).

-          Zeresh                                    :  sebenarnya dia adalah istri Haman yang baik. Ia selalu menjadi tempat “curhat” suaminya. Dalam dua kali kemunculannya, Zeresh selalu mendukung suaminya, baik itu dalam bentuk masukan yang salah (Ester 5 : 14) maupun dalam bentuk peringatan yang baik (Ester 6 : 13).

*Hanya diambil tokoh-tokoh yang penting dalam perikop yang saya bahas, yaitu Ester 6 :1-14. Namun karakter tokoh-tokoh tersebut tetap merupakan rangkuman dari hasil membaca kitab Ester secara keseluruhan (karakter bukan dilihat hanya berdasar perikop yang saya bahas).

Y  Sudut pandang

Sudut pandang yang ada dalam perikop Ester 6 : 1-14 adalah dari narator, raja, Haman, Zeresh (serta orang arif bijaksana).

Parafrase Ester 6 : 1-14

            Diceritakan pada malam itu raja tidak dapat tidur. Ia pun menitahkan untuk membawa serta membacakan kitab pencatatan sejarah di hadapannya. Lalu didapatilah catatan tentang Mordekhai yang pernah memberitahukan persekongkolan Bigtan dan Teresh, dua orang sida-sida raja yang berikhtiar membunuh raja. Maka bertanyalah raja penghargaan apa yang sudah diberikan kepada Mordekhai, biduanda raja pun menjawab tidak ada. Di saat yang bersamaan dengan itu, Haman datang untuk memberitahukan kepada raja tentang maksudnya menyulakan Mordekhai pada tiang yang sudah didirikannya. Ia baru sampai di pelataran lalu menunggu di sana hingga raja menitahkannya untuk masuk. Raja pun akhirnya memperbolehkan ia masuk.

            Setelah Haman masuk, raja langsung bertanya meminta pendapatnya tentang perlakuan apa yang seharusnya dilakukan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya. Betapa girang hati Haman karena dia mengira pasti dialah orang yang raja berkenan menghormati. Maka ia pun menjabarkan sebuah “daftar” perlakuan yang panjang yang memang sebenarnya dialah yang ingin diperlakukan seperti itu. Ia mengatakan, “Mengenai orang yang raja berkenan menghormatinya, hendaklah diambil pakaian kerajaan yang biasa dipakai oleh raja sendiri, dan lagi kuda yang biasa dikendarai oleh raja sendiri dan yang diberi mahkota kerajaan di kepalanya, dan hendaklah diserahkan pakaian dan kuda itu ke tangan seorang dari antara para pembesar raja, orang-orang bangsawan, lalu hendaklah pakaian itu dikenakan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya, kemudian hendaklah ia diarak dengan mengendarai kuda itu melalui lapangan kota sedang orang berseru di depannya: Beginilah dilakukan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya!” Selesai Haman menjabarkan “daftar” panjang itu, raja segera memberi perintah padanya untuk melakukan semua “daftar” perlakuan itu kepada Mordekhai. Raja pun memberikan peringatan “sepatah katapun jangan kau lalaikan dari pada segala yang kau katakan”.

            Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Haman melakukan “daftar” perlakuan yang panjang yang telah dibuatnya sendiri kepada Mordekhai. Ia mengarak Mordekhai melalui lapangan kota dengan berseru “Beginilah dilakukan kepada orang yang raja berkenan menghormatinya”. Kemudian sesudah itu, Mordekhai kembali ke pintu gerbang istana raja sedangkan Haman dengan tergesa-gesa kembali ke rumahnya dengan sedih hati dan berselubung kepalanya. Sesampainya di rumah, ia menceritakan kepada Zeresh (istrinya) dan kepada sahabat-sahabatnya apa yang telah dialaminya. Maka orang arif bijaksana serta istrinya memperingatkan Haman, “Jikalau Mordekhai, yang di depannya engkau sudah mulai jatuh, adalah keturunan Yahudi, maka engkau tidak akan sanggup melawan dia, malahan engkau akan jatuh benar-benar di depannya”. Selagi mereka bercakap-cakap, datanglah sida-sida raja untuk mengantarkan Haman dengan segera ke perjamuan yang diadakan oleh Ester.

            Tafsir

            Sebelum kita memulai menggali tujuan dan makna dari perikop ini, ada satu catatan penting yang membantu kita lebih memahami kisah Ester ini, terutama tentunya perikop Ester 6 : 1-14. Saya menaruh perhatian pada penyebutan “keturunan Yahudi” pada ayat 13. Mengapa Zeresh harus menyebutkan kata-kata itu? Bukankah sudah jelas bahwa Mordekhai memang orang Yahudi/keturunan Yahudi. Hanya dengan menyebut namanya saja (baca: Mordekhai), kita sudah tahu bahwa ia seorang Yahudi karena sudah dijelaskan dengan terperinci pada pasal awal yaitu pasal 2 : 5.

Ternyata bila kita menengok ke belakang, tentu kita masih ingat akan kisah kekecewaan Tuhan kepada Saul karena Saul “membangkang” (I Samuel 15). Dalam kisah ini, ada satu adegan yang menceritakan bahwa raja Saul menangkap Agag yang adalah raja orang Amalek.   Haman bin Hamedata yang adalah orang Agag ini merupakan keturunan dari raja Amalek, sedangkan Mordekhai yang adalah orang Yahudi merupakan keturunan dari Kish bin Abiel bin Zeror bin Afiah yang juga merupakan ayah dari raja Saul (I Samuel 9 : 1).[2] Dari penjelasan di atas, semakin jelaslah bagi saya mengapa istilah “keturunan Yahudi” dan penyebutan “orang Agag” itu menjadi sesuatu yang sangat penting, terutama dalam perikop 6 : 1-14.

            Saat membaca perikop ini, terutama saat Haman harus melakukan apa yang tadinya dia kira akan terjadi padanya ternyata terjadi pada Mordekhai, saya sungguh tidak dapat membayangkan raut wajah Haman. Perasaannya pasti campur aduk kala itu ; sedih, kecewa, marah. Dia sudah yakin (bukan lagi berharap), dirinyalah yang akan dihormati raja tapi justru malah “musuhnya” yang mendapatkan kehormatan raja itu. Haman tentu merasa sangat dipermalukan (padahal raja tidak bermaksud begitu). Mungkin bila dibahasakan dengan bahasa sehari-hari Haman akan berkata,”Ih…tahu gitu, aku tidak akan memberikan “daftar” panjang itu. Cukup diberi uang berapa ratus perak aja sebagai penghargaan”.

            Saya membayangkan, tentu pembaca Yahudi yang membaca kisah ini akan sangat senang bahkan mungkin akan ada yang tertawa. Mereka senang mengetahui Haman merasa dipermalukan seperti itu hingga pulang ke rumah dengan hati sedih dan berselubung kepalanya. Mereka tentu merasa sedikit terpuaskan kejengkelannya mengingat pada pasal-pasal sebelumnya, yaitu mulai pasal 3, kelicikan Haman orang Agag tersebut membuat bangsa Yahudi menderita.

            Terlepas dari itu semua, tujuan penulis (yang saya pahami) saat membuat kisah pada perikop ini adalah si penulis ingin menunjukkan bahwa walaupun hanya seorang namun bila ia keturunan Yahudi, tidak akan dapat “dilawan” oleh musuh-musuhnya. Hal ini nampak juga pada pernyataan Zeresh, istri Haman, serta orang arif pada ayatnya yang ke-13. Hal itu dikarenakan Tuhan melindungi bangsa Yahudi yang setia kepadaNya melalui berbagai macam cara.

Perlu kita ingat bahwa saat itu dekrit yang berisi tentang pemusnahan seluruh orang Yahudi di wilayah kekuasaan raja Ahasyweros telah dikeluarkan serta disebarkan ke seluruh wilayah dan sedang menunggu waktu pelaksanaannya. Namun ternyata raja masih mau memberikan penghargaan kepada Mordekhai orang Yahudi itu,dan kalau kita cermati lagi penghargaan itu bukanlah penghargaan yang sembarangan. Bayangkan saja, Mordekhai diperkenankan menggunakan pakaian kerajaan yang biasa dipakai raja dan diperkenankan menunggangi kuda yang biasa dikendarai oleh raja. Tidak hanya itu saja. Mordekhai juga diarak melalui lapangan kota sambil diumumkan bahwa dia adalah orang yang kepadanya raja berkenan menghormati.

Ada juga hal lain yang perlu kita perhatikan. Haman saat itu datang ke istana raja untuk memberitahu raja bahwa ia telah membangun tiang untuk menyulakan Mordekhai. Tentu ini menurutnya adalah berita bahagia, karena begitu rencananya itu disetujui oleh raja maka ia tidak akan membuang-buang waktu lagi untuk menyulakan Mordekhai jika tiang itu telah selesai dibangun. Namun tak disangkanya, yang terjadi justru adalah kabar buruk baginya. Hingga pada akhirnya, Haman tidak sempat memberitahukan kepada raja tentang pembangunan tiang itu.

Dua paragraph di atas merupakan contoh konkrit mengapa saya dapat mengambil kesimpulan bahwa penulis ingin menjelaskan tentang keturunan Yahudi yang tidak akan dapat “dilawan” oleh musuh-mushnya karena perlindungan Tuhan melalui berbagai macam cara. Tentunya tidak hanya pembaca Yahudi saja yang dikuatkan melalui kisah ini. Kita dapat menerapkan juga dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini. Namun tentunya bukan tentang keturunan Yahudi yang tidak akan dapat “dilawan” karena itu merupakan konteks untuk bangsa Yahudi. Kita dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari kita bahwa Tuhan melindungi orang yang setia kepadaNya melalui berbagai macam cara, bahkan mungkin cara yang tidak kita duga.

3.     Kesimpulan

Dalam perikop 6 : 1-14, pembaca Yahudi kembali dikuatkan bahwa mereka tidak akan dapat “dilawan” oleh musuh-musuhnya karena Tuhan selalu melindungi mereka yang setia melalui berbagai macam cara. Kita, pembaca masa kini di luar Yahudi, pun dapat dikuatkan lewat perikop ini. Kita diingatkan akan perlindungan Tuhan yang nyata melalui berbagai macam cara bagi kita yang setia kepadaNya.

 

 

Daftar Pustaka

Alter, Robert and Frank Kermode.1987.The Literary Guide To the

            Bible.Massachusets:Belknap Harvard.

Anderson.1957.Understanding the Old Testament.New Jersey:Prentice Hall,Inc.

 



[1] Alter, Robert and Frank Kermode.1987.The Literary Guide To the Bible.Massachusetts:Belknap Harvard

[2] Anderson.1957.Understanding the Old Testament.New Jersey:Prentice-Hall,Inc